MENOLAK MADZHAB WAHABI Sejarah dan Bantahan Kritis Atas Kekeliruan Wahabi
Rincian Buku:
» Pengarang | : Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan |
» Penerbit | : Turos |
» Cover | : Soft Cover |
» Dimensi | : A5 (14.8 x 21 cm) |
» Isi Kertas | : Bookpaper |
» Jumlah Halaman | : vii + 233 Hal. |
» Berat | : 250 Gram |
» ISBN | : 9786237327271 |
Deskripsi Produk
Penulis buku ini, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan (1816-1886 M), adalah ulama alim yang namanya tak asing bagi umat Islam dunia, termasuk di Indonesia. Sosoknya terkenal dan terpandang, karena sebagian besar sanad keilmuan ulama-ulama kita tersambung langsung ke beliau. Mereka yang pernah menimba ilmu dan menjadi murid beliau, antara lain: Imam Nawawi al-Bantani, K.H. Saleh Darat (Guru dari K.H. Hasyim Asya’ari, K.H. Achmad Dahlan, dll.), Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Sayyid Utsman Betawi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Kyai Muhammad Khalil al-Maduri, Tuan Kisa’i al-Minangkabawi (kakeknya Buya Hamka), dan lain-lain.
Lahir di Makkah 1816 M, beliau adalah keturunan langsung Nabi Muhammad dari jalur Sayyidina Hasan bin Ali RA. Beliau juga imam sekaligus mufti terakhir kota Mekkah dan Madinah pada zaman Kesultanan Turki Ustmani.
Buku ini merupakan respons ilmiah beliau yang melawan gerakan Wahabi pada awal-awal kemunculannya. Sebuah risalah klasik yang secara komprehensif memaparkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jammah sekaligus membantah pandangan-pandangan keliru kaum Wahabi terkait persoalan-persoalan yang selama ini dipakai untuk menyerang umat Islam lainnya. Mulai dari tema istighatsah, tawasul, tabaruk, maulid Nabi, ziarah makam Nabi, syafaat, persoalan takfir (pengkafiran sesama muslim) dan persoalan-persoalan lainnya.
Bisa dikatakan, buku ini merupakan sumbangsih yang sangat berharga dari Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, selain tentu saja buku-buku beliau lainnya, yang bisa menjadi rujukan terlengkap umat Islam dalam mendiskusikan kontroversi pemikiran gerakan Wahabi dalam bingkai akademik dan suasana damai yang bisa saling menghargai. Selamat membaca!
Siapa Penulis Buku ini?
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan
Keturunan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Mufti Mazhab Syafi’i dan Syaikh al-Haram (Ulama tertinggi di Masjidil Haram)
Menguasai empat mazhab secara sempurna
Guru: Zaini Dahlan, Syekh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi al-Azhari, Syekh Muhammad bin Husain al-habasyi (mufti Mekkah), Habib Umar bin Abdullah al-Jufri
Murid: Syekh Nawawi al-bantani, Kiai Muhammad bin Abdullah as-Suhaimi, Kiai Muhammad Saleh Darat, Sayyid utsman bin Yahya al-Batawi
Apa kelebihan buku ini?
Ditulis oleh ulama otoritatif dan tepercaya
Menyajikan argumen strategis untuk membantah dan menolak wahabisme.
Dialihbahasakan dengan apik, sehingga enak dibaca.
Buku langka dan berbobot.
Membahas secara tuntas tentang Wahabisme
Apa saja isi buku ini?
Ziarah makam nabi
Tawasul
Istighatsah
Peringatan Maulid Nabi dan Pengagungan
Benda-benda di Seputar Ka’bah
Menghadap ke Makam Rasul ketika Berdoa
Syafaat
Quotes:
Dalam hadis sahih yang telah disepakati kebenarannya (muttataq ‘alaih), terdapat perintah untuk melakukan ziarah kubur. Dan tentu saja, kubur atau makan nabi kita Muhammad saw. lebih utama, lebih layak, lebih berhak, dan lebih mulia untuk diziarahi, bahkan tidak bisa dibandingkan dengan makam orang lain.
Tawasul dengan perantara Nabi Muhammad saw. sebelum beliau diciptakan, atau ketika beliau masih hidup, atau setelah beliau meninggal, itu diperbolehkan. Dan dibolehkan pula bertarasul dengan orang-orang pilihan selain Nabi, sebagaimana dicontohkan oleh Umar ketika ber-istisqa dengan perantara Abbas.
Barang siapa melecehkan derajat kemuliaan Rasulullah Saw., sejatinya dia telah berbuat maksiat atau bahakan kafir. Sebaliknya, barang siapa mengagungkan Rasulullah dengan berbagai bentuk pengagungan, seraya tidak menyifati beliau dengan salah satu sifat ketuhanan, maka dia telah melakukan kebenaran.
Dalam kitab al-Musnad miliknya, Imam Abu Hanifah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ia berkata, “Termasuk bagian dari sunah adalah menghadap ke arah makam Nabi yang mulia dan membelakangi kiblat.”
Rasulullah menjawab, “Tidak. Sesungguhnya aku meminum air itu karena ingin mendapatkan keberkahan dari umat Islam dan dari apa yang disentuh oleh tangan-tangan mereka.” Jika Rasulullah saja mengatakan demikian, lantas bagaimana dengan orang lain menurut Anda.