Syarah Kitab Mawaidhul Ushfuriyah dan Makna Pesantren
Rincian Kitab:
Penulis | : Syekh Muhammad bin Abi Bakar |
Penerbit | : Al Hidayah |
Jilid Cover | : Kurasan |
Dimensi | : 19 x 27 cm |
Isi Kertas | : Nanking Paper |
Jumlah Halaman | : 32 Hal | Berat 80 Gram |
Grosir | » 5.600 (Polos Kuning) |
» 10.150 (Makna Pesantren) |
Deskripsi Produk
Kitab Ushfuriyah itu unik. Setiap hadis dibabarkan dengan menyertakan hikayat dan kisah nyata (karena berasal dari sebuah hadis), sehingga para santri seperti diberikan dongeng sebelum tidur. Di sisi lain, kiai yang membacakannya pun lihai dalam mempreteli kitab berbahasa Arab tersebut dengan terjemahan Jawa-nya yang khas. Sehingga para santri serasa tak berjarak lagi dengan bahasa Arab.
Kitab Ushfuriyah berisikan paparan tentang akhlak atau pribadi seorang muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Telah diceritakan suatu ketika sahabat yang sekaligus keponakan dan menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW, mau menjalankan ibadah shalat jamaah ke masjid. Di tengah perjalanan, beliau berbarengan dengan orang tua yang telah lebih dulu sepersekian menit di depannya, yang ketika berjalan, jalannya sangat lambat sekali. Meskipun berkeinginan untuk mengejar waktu agar tidak ketinggalan sholat berjama’ah, akan tetapi Sayyidina Ali tetap sabar berjalan di belakang orang tua tersebut. Ia tidak mau mendahului.
Nah, ketika hampir mendekati masjid, ternyata orang tua tersebut berbelok arah. Ia ternyata bukan hendak ke masjid, tetapi malah ke tempat lain. Usut punya usut ternyata orang tua tersebut adalah seorang Nasrani. Pun demikian, Sayyidina Ali tidak menyesal. Ia yang notabene hendak ke masjid untuk mengejar shalat jama’ah demi mendapatkan nilai-nilai kesalehan sebagai muslim, tetapi ia masih bisa tetap bersabar dengan tidak mendahului orang tua yang sedang berjalan di depannya. Dari sini, terlihat begitu santunnya akhlak Sayyidina Ali kepada seseorang. Ia tidak memperdulikan status agama maupun keyakinan orang tersebut.
Bila kita cermati kondisi saat ini, tak jarang orang yang pergi ke masjid ‘merasa’ dirinya sudah suci, jauh dari dosa. Bahkan, pekikan “Allahhu Akbarnya” sering digunakan untuk melukai dan mencederai orang lain. Padahal, ketika seseorang pergi ke masjid, seharusnya ia menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang kotor, penuh dosa. Dengan berangkat ke masjid, ia berharap dosa dan kotorannya itu diampuni oleh Allah SWT.
Di dalam kitab tersebut, Sayyidina Ali telah mencontohkan akhlak atau pribadi seorang Muslim yang benar-benar tahu kadar keislamannya. Islam yang diamalkan oleh Sayyidina Ali penuh kedamaian, keselamatan dan penghormatan kepada orang lain. Bukan Islam yang beringas dan suka mencederai orang lain.[]