Mencemaskan Rahasia Qadha’ dan Qadar Allah
KH. Abdullah Habib Faqih
Majelis Masyayikh Pondok Pesantren Langitan
Allah تعالى berulang kali meneguhkan, pada diri-Nya, sifat al-Ghafur (Maha Pengampun) dan ar-Rahim (Maha Penyayang), sekaligus Syadidul Iqab (sangat pedih siksa-Nya) dan Sari’ul Hisab (sangat cepat perhitungannya). Sifat-sifat tersebut, dalam pemahaman hamba-Nya, dimaknai secara berbeda-beda, tergantung dari pendekatan yang mereka gunakan. Sebagian menggunakan rasa cinta dan sebagian lain menggunakan rasa takut.
Pada umumnya, orang-orang shalih menghambakan diri atas dasar cinta. Mereka beribadah dan bersujud karena rasa cinta. lain halnya dengan jamak orang, yang menyembah Allah تعالى karena takut akan siksa-Nya.
Pemaknaan terhadap sifat al-Ghafurur Rakhim dan Syadidul ‘Iqab menanamkan harapan dan sekaligus kecemasan pada hati seorang hamba, yang kemudian melahirkan konsep khauf dan raja’. Orang mukmin hendaknya senanhasa menjaga hahnya tetap berdiri seimbang di antara kecemasan dan harapan: cemas akan luput dari ampunan-Nya dan berharap akan rahmat-Nya; cemas mendapat murkaNya dan berharap mendapat ridha-Nya.
Pada saat yang bersamaan, seorang mukmin tidak boleh putus harapan dan sekaligus tidak boleh sepenuhnya bergantung pada harapan. Ketakutan yang berlebihan akan membuat seseorang lupa akan kemurahan dan rahmat-Nya. Sebaliknya berlebihan mengandalkan rahmat akan membuat seseorang menjadi sembrono. Sehingga simpulannya, sikap tengah-tengah adalah kunci.
Meskipun begitu, seorang mukmin tidak boleh kendor dan lengah sehingga melepaskan cemas di hatinya. Cemas akan rahasia qadha’ dan qadar yang merupakan suatu keniscayaan. Seorang mukmin harus senantiasa khawatir terhadap nasib imannya, terhadap Jalan takdir yang ditetapkan sebagai pamungkas hidupnya.
Hanya dengan itu mereka dapat terhindar dar! kesombongan. Sebab kali mampu beramal saleh mereka akan bersyukur atas pertolongan Allah, Mereka merasa gembira karena telah mendapat kekuatan dari Allah untuk melaksanakan ibadah meskipun sedikit. Mereka merasa syuhudul minnah minalluh walau ma’al qillah (menyaksikan bahwa segalanya – termasuk kekuatan beribadah- hanya dari Allah, meskipun terkadang sebab dari amal yang sedikit).
Namun, dalam kegembiraan itu, terbersit juga perasaan Cemas, apakah ibadah mereka diterima? Adakah hidayah itu akan mereka rengkuh hingga akhir hayat?
Tidak ada yang dapat menjawab dua pertanyaan itu kecuali Allah تعالى. Mereka menyadari bahwa Hidayah sepenuhnya milik Allah تعالى, sementara hati mereka ada di dalam genggaman-Nya. Serta menjadi kewenangamNya pula untuk membolak- balikkan hati mereka. Sehingga, ada di antara mereka yang dalam hidupnya selalu melakukan amal ahli surga, hingga bdak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali satu Jengkal, namun ketetapan Allah telah mendahuluinya, hingga ia melakukan amalan ahli neraka dan akhirnya ia terperosok ke dalamnya. Itulah yang harus dipegang teguh dan menjadi pedoman hidup seorang mukmin.
Seorang mukmin sejati akan senantiasa mengingat perishwa yang dialami Rasulullah saw ketika Isra’ Mi’raj. Kedua belah tangan beliau disodori dua lembar kertas yang bertuliskan nama-nama umat beliau. Di tangan kanan tertulis nama mereka yang menjadi penduduk surga. Di tangan kiri tertulis nama-nama mereka yang menjadi penghuni neraka.
Rasulullah Saw meneteskan air mata. seraya meminta kiranya Allah تعالى berkenan menambah nama-nama penghuni surga dan mengurangi penghuni neraka. Namun permintaan itu tidak dapat dikabulkan. Beliau menangis, menggigil hingga bergetar seluruh tubuhnya.
Betapa tidak, Beliau melihat, di antara nama-nama penghuni neraka itu, ada mereka yang meninggal dalam bimbingan Islam, yang sejak kecil mengamalkan amalan ahli surga, yang berasal dari lingkungan orang yang memegang teguh syariat Islam, namun di ujung hayatnya mereka terpeleset dan tercebur ke dalam jurang neraka.
Sementara itu, di antara nama-nama penduduk surga, ada tertulis mereka yang mengucap syahadat hanya di penghujung hidupnya. Mereka masuk surga lebih dulu, melampauhi yang bersyahadat sejak awal hidupnya. Mereka melewab jembatan panjang lebih awal, meninggalkan orang- orang yang lebih dulu memeluk agama Islam.
Itulah ketetapan yang digariskan oleh Allah تعالى dari sejak azali. Maha suci Allah yang telah menyempurnakan ketetapan dan kehendaknya sejak zaman azali. Maha suci Dzat yang dapat merubah gerak hah makhluknya. Maha Suci Dia yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki, dan membiarkan sesat siapa saja yang dikehendaki.
Seorang mukmin sejati harus selalu mencemaskan nasib imannya, takut mengalami nasib serupa Bal’am bin Ba’ura dan Barshisha, yang jatuh celaka di akhir hidupnya karena tidak mempunyai rasa khawatir seperti itu sedikitpun dalam hatinya.
Orang yang senantiasa mencemaskan qadha’ dan qadar pasti akan banyak beramal, namun tetap menganggap bahwa amalnya tidak pantas dibanggakan, lantaran penuh dengan cela dan kekurangan. la merasa belum mampu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Kalaupun amalnya dlterima, maka itu murni anugerah dari Allah تعالى.
Kita mengenal Imam Zainal Abidin – imam ahlil bait yang mengerjakan shalat seribu rakaat tiap malam. Imam Tsabit Al-Bunani -yang menghidupkan setiap malamnya dengan tiga ratus rakaat, dan Imam Abu Hanifah -yang selama empat puluh tahun shalat shubuh dengan wudhu isya’. Mereka sederet nama mukmin sejati, yang telah berbuat maksimal dalam ibadahnya.
الهى ما عبدتك عبوديتك
Meski demikian mereka senantiasa merasa tidak berbuat apa-apa. Bersimpuh di hadapan Allah تعالى seraya meratapi dan berlinang air mata karena khawatir amalnya tidak diterima, terbersit dalam hati mereka sebuah perasaan, “Wahai Tuhanku, aku beribadah sekedarnya, masih belum mampu bersimpuh sempurna“.
Orang yang mencemaskan qadha’ dan qadar akan selalu merasa tawadhu’. Kitapula mengenal Uwais al-Qarni, sang waliyullah yang mengumpulkan sisa makanan dari tempat sampah, dan berkata pada anjing yang ada di sampingnya: “Wahai anjing, aku tak akan mengganggumu. Aku tidak lebih mulia darimu. Jika aku bisa melewati jembatan jahanam, maka aku selamat, tapi jika aku tergelincir dalam jembatan itu, maka engkau lebih mulia dari pada aku.“
Pada akhirnya kecemasan akan amal akan memupus sikap sombong dan bangga diri atas keadaannya hari ini. Sebab semuanya masih serba mungkin untuk berubah. Sebaliknya ia akan senantiasa menjadi penjaga hati, adab dan akhlaknya di hadapan Allah تعالى dan makhluk-Nya.